January 5, 2008

60 Tahun Agresi Belanda

60 Tahun Agresi Belanda, Pembantaian Rawagede yg terlupakan
Korban agresi militer Belanda dilupakan?
Pembantaian di Rawagede dan pelanggaran HAM lain
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu
jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan
harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli
1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan
perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda
waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya,
apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban
pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa
Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah
pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban
pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang
dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda
membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara
Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara
Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran,
yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di
kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda
melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang
penduduk dibunuh.
Persetujuan Linggajati Pada 15 November 1946 diparaf
persetujuan Linggajati yang berisi 17 pasal, di mana tertera
antara lain:
Pasal 1
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto
Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
Pasal 2
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia bersama-sama
menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan
berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamakan
Negara Indonesia Serikat.
Draf persetujuan yang diparap di Jakarta pada 15 November
1946, tidak segera mendapat pengesahan yang mulus, baik di
pihak Republik mau pun di pihak Belanda. Pada 20 Desember
1946, Tweede Kamer di Belanda meratifikasi Persetujuan
Linggajati setelah dilakukan voting dengan suara 65 lawan 30.
Tanggal 25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai
DPR-Sementara, bersidang di Malang guna membahas Persetujuan
Linggajati. Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana
Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para penentang Persetujuan
tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat
pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa
Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan
Linggajati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil
memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada
25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana
Gambir (sekarang Istana Merdeka), Jakarta.
Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat
tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga
dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan
Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan
Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan
tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan.
Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal,
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari
kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan
Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun
September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir,
diangkat menjadi Perdana Menteri.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk
memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus
mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang
bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di
Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat
angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan
Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah
Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 –
25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di
Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda
menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24
Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia
Timur.”
Suasana Perjanjian Linggarjati
Formal dinner with mixed Dutch and Indonesian guests,
plus foreign Ambassadors, shortly after Indonesia
proclaimed Independence. At the uncomfortably-arranged
long table at the back of this suffocatingly crowded
vista, there were Indonesian Prime Minister Sir Sjahrir,
and independence hero and Muslim scholar Haji Agus
Salim. All Indonesian women present were wearing
Javanese traditional dress of batik sarong and kebaya.
Perang Puputan Margarana
Agresi militer Belanda ke Pulau Bali ternyata belum sepenuhnya
dapat menguasai seluruh Bali. Menjelang persiapan “Konferensi
Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di
bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus
melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda. Tanggal
19 November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan.
Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946
pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan
Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat
desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta
menjatuhkan bom dari udara. Setelah melihat mereka terkepung
dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan!
Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan
mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00
pertempuran berakhir. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai
(kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) gugur bersama
96 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November 1946,
yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana.
Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda, yang
menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat
mendukung mereka.
Pembentukan negara-negara boneka
Kekuatan pendukung Republik di Indonesia Timur terlihat dalam
pemilihan Presiden Negara Indonesia Timur pada “Konferensi
Besar” pada bulan Desember 1946 di Denpasar, di mana calon
yang diunggulkan Belanda, Cokorde Gde Raka Sukawati hanya
menang tipis, yaitu 36 lawan 32, atas saingannya, Mr. Tajuddin
Noor, yang -sebelum dibubarkan Belanda tanggal 8 September
1946- adalah Ketua Partai Nasional Indonesia di Sulawesi. Mr.
Tajuddin Noor adalah pendukung Republik, dan menjadi oposisi
yang vokal dalam Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van
Mook.
Setelah berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT)
dengan Cokorde Gde Raka Sukawati sebagai Presiden dan
Najamuddin Daeng Malewa sebagai Perdana Menteri, pada 25
Desember 1946, Belanda membentuk Negara Sumatera Timur, dengan
dr. Tengku Mansur, yang masih kerabat Sultan Deli, sebagai
Wali Negara. Pada 4 Mei 1947 van Mook kembali menunjukkan
“keberhasilannya” dalam politik divide et impera dengan
membentuk “Negara Pasundan” dan mengangkat Surya Kartalegawa
sebagai “Kepala Negara”, namun Kartalegawa sendiri kurang
mendapat dukungan dari rakyat Jawa Barat. Pada 9 Mei 1947
Belanda mendirikan “Dewan Federal Borneo Tengah” dan pada 12
Mei 1947 mendirikan “Daerah Istimewa Borneo Barat”, dengan
Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai “Kepala Negara.”
Sejarah mencatat, bahwa Belanda –seperti juga Inggris
sebelumnya- berkali-kali melanggar kesepakatan ataupun
perjanjian yang telah ditandatangani, baik oleh pimpinan sipil
maupun militer. Nampaknya, bagi mereka perjanjian dengan
pimpinan dari negara bekas jajahan seperti tidak ada artinya.
Selain terus membentuk negara-negara boneka di wilayah yang
mereka kuasai, tentara Belanda terus melancarkan
serangan-serangan terhadap daerah-daerah yang resmi dikuasai
oleh Republik.
Agresi militer Belanda I
Tanggal 15 Juli 1947 van Mook mengeluarkan ultimatum agar
supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis
demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Persetujuan Linggajati ini dilanggar Belanda dengan
melancarkan agresi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947
dan menggunakan kode "Operatie Product", kemudian dikenal
sebagai Agresi I. Sesuai namanya, tujuan utama agresi Belanda
adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah
yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai
kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi
militer ini sebagai “Aksi Polisional”, dan menyatakan tindakan
ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal
Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana
dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan
Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda
telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan
yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh
tentara Inggris dan tentara Australia.
Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan
telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli malam,
sehingga dalam bukunya, J.A.Moor menulis agresi militer
Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik
Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran
mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah
mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur,
sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan
tebu dan pabrik-pabrik gula. Pada agresi militer pertama ini,
Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps
Speciaale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini
berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di
bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST)
yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum
pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa,
melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di
wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya
seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol
Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari
Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh
Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas
Agustinus Adisucipto (ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional),
Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh (ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional) dan Perwira Muda Udara I Adisumarno
Wiryokusumo .
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer
Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah
melanggar suatu perjanjian internasional, yaitu Persetujuan
Linggajati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi
keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang kini
tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas
permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1946 masalah
agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam
agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi
No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar
konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik
Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak
tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama
INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi
pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947,
kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947,
resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67
tanggal 28 Januari 1949 , Dewan Keamanan PBB selalu
menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda
sebagai “The Indonesian Question.”
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947
Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi
Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk
melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah
konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya
hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia
(Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai
Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara,
yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang
dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang
netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia
diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk
Dr. Frank Graham.
Photo diatas adalah sedikit cuplikan dari sudut Belanda yang
diambil dari
http://www.dekolonisatie.com/mariniersbrigade/product.htm
Persetujuan Renville
Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for
Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara
Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai
tempat netral, karena Pemerintah Republik Indonesia menolak
berunding di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana
Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Dan yang sangat luar biasa
di sini adalah, delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh
Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Di sini terlihat
jelas keberhasilan politik divide et impera Belanda yang dapat
menampilkan seorang pribumi untuk menghadapi bangsanya
sendiri. Namun ini juga menunjukkan watak orang-orang seperti
Wijoyoatmojo, yang demi pangkat, jabatan dan uang, rela
mengorbankan –bahkan membunuh- bangsanya sendiri untuk
kepentingan penjajah.
Pada perundingan di kapal Renville tersebut, Belanda kembali
menunjukkan keunggulan berdiplomasi dalam perundingan dan di
lain pihak, Indonesia sekali lagi menunjukkan kelemahannya.
Belanda bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia
mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer, dan tetap
mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan “Garis van
Mook” sebagai hasil agresi militer mereka. Garis van Mook itu
untuk Belanda merupakan “Dream Line” (garis impian) karena
dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah yang
sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama
daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat
dibutuhkan oleh Belanda, seperti minyak dan hasil pertambangan
lain.
Tanggal 17 Januari 1948, ditandatangani kesepakatan antara
Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda, yang kemudian dikenal
sebagai “Persetujuan Renville.”
Namun sejak Pemerintah RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947
sepakat untuk diadakannya gencatan senjata hingga
ditandatanganinya Persetujuan Renville, pertempuran terus
terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar
yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga
terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang
terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus
mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan
pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi “Hijrah” ke Jawa
Tengah.
Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai
laskar a.l. Barisan Bambu Runcing dan Laskar
Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut.
Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara
Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda
Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan
Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Pada 7
Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu
itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII), dan dengan demikian tindakannya adalah pemberontakan
terhadap pemerintah Belanda. Di era Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan kemudian setelah RIS dibubarkan dan di era RI,
Kartosuwiryo tetap mempertahankan NII, sehingga terjadi
konflik bersenjata yang berakhir dengan tertangkapnya
Kartosuwiryo tahun 1962, dan kemudian dia dijatuhi hukuman
mati yang segera dilaksanakan.
Kereta Maut Bondowoso-Surabaya
Pada 23 November 1947, Belanda mengevakuasi 100 orang pejuang
RI yang ditawan di Bondowoso dan akan dipindahkan ke Penjara
Kalisosok di Surabaya. Para tahanan dimasukkan ke dalam
gerbong barang. Gerbong No. GR.10152 berisi 30 orang. Gerbong
No. GR.446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang.
Kereta berangkat dari Stasiun Kereta Api Bondowoso pukul 03.00
dini hari menuju Surabaya. Gerbong-gerbong barang yang
tertutup rapat hanya memiliki beberapa lubang kecil sehingga
ketika siang hari terasa sangat pengap karena kurang udara dan
di dalam gerbong mereka berdesak-desakan berebut udara melalui
lubang kecil. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari
13 jam, gerbong tidak pernah dibuka atau diperiksa, dan para
tahanan tidak diberi minuman dan makanan. Ketika di Surabaya
gerbong-gerbong dibuka, ternyata 46 orang dari seratus orang
tahanan telah meninggal akibat dehydrasi dan kekurangan
oksigen untuk bernafas. Untuk mengenang tragedi ini, di tengah
kota Bondowoso didirikan Monumen Gerbong Maut. Di Belanda
drama kereta api ini disebut sebagai De trein van de dood.
Pembantaian di Rawagede
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani,
tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi
7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit
pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah
detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12
Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para
dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari
Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian
menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi
Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan
pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran
berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga
gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan
seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap
rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka
kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing
dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki
diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya
tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang
tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak
mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan
ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil
melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih,
kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan
para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri
berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan
mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang
berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena
tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada
kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede.
Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di
Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan
yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke
excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang.
Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak
yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi
desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak.
Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa
tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan
seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya
yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali
lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk
pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan
kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian
diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama
berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada
Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik
untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya
sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka
sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang
tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang
pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang
(war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda,
Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara
kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL,
Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 –
1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota
betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent
excessen in Indonesiƫ begaan door Nederlandse militairen in de
periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan
resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni
1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan
menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman,
dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar
sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140
kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara
Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun
setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai
oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang.
Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi,
tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas
menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada
waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan
hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan
film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan
di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter
ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai
pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti
kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam
upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945..
Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup
terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh
tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum
ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah
dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga
korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer,
yang sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.
Bagaimana sikap dan tindakan Pemerintah dan Parlemen Republik
Indonesia?
Batara R. Hutagalung
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari Naskah buku Batara R.
Hutagalung, “Serangan Umum 1 Maret 1949. Satu Episode Dalam
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”, Jakarta 2005.
Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BE­LANDA menuntut
Pemerintah Belanda untuk; Pertama, Mengakui Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945; dan Kedua, Meminta Maaf
Kepada Bangsa Indonesia atas Penjajahan, Perbudakan,
Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.

No comments: