January 5, 2008

Agresi Militer Belanda & Pembantaian Westerling di Sulawesi

Menjelang peringatan dan masih beberapa hari kemudian, berbagai
media cetak dan elektronik di Indonesia memuat berita dan tulisan
mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan dan
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tidak satupun media, baik di Indonesia maupun di Belanda yang
menulis mengenai penderitaan rakyat yang menjadi korban agresi
militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949, setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ribuan penduduk dalam
peristiwa "rawagede" dibantai yang sebelumnya ribuan penduduk di
Sulawesi juga dibantai oleh tentara bayaran KNIL pimpinan
Westerling. (red)
Kehadiran Menlu Belanda Ben Bot yang menyatakan menerima proklamasi
17 agustus 1945 secara politis dan moral serta menyatakan rasa
penyesalan atas penderitaan bangsa Indonesia atas tindakan militer
yang dilancarkan tentara Belanda setelah 17.8.1945, disalah-artikan
oleh berbagai media di Indonesia sebagai pernyataan pengakuan atas
proklamasi 17.8.1945, dan permintaan maaf. Mungkin para wartawan
Indonesia kurang paham bahasa Inggris sehingga membuat kesimpulan
yang keliru atas pernyataan Ben Bot tersebut. Media di Belanda jelas
menulis, bahwa Ben Bot menyatakan “anvaarden” (menerima) dan bukan
“erkenning” (pengakuan), dan Radio Nederland sendiri pada 17 agustus
2005 menyiarkan berita dengan judul: “Sedih. Tapi Tidak Minta Maaf.”
Harian Belanda Handelsblad mengutip pernyataan Ben Bot pada 15
Agustus 2005, yang mengatakan a.l.:
”Waar het nu in de eerste plaats om gaat, is dat wij de Indonesiërs
eindelijk klare wijn schenken. Al decennia lang zijn Nederlandse
vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de
Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het kabinet aan
de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef
bestaat dat de onafhankelijkheid van de republiek Indonesië de facto
al begon op 17 augustus 1945 en dat wij zestig jaar na dato dit feit
in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden”
Ben Bot jelas menyatakan RI de facto mulai 17.8.1945, dan …MENERIMA
SECARA POLITIS DAN MORAL. Jadi tetap tidak mengakui de jure.. Di
Indonesia, atas pertanyaan wartawan, dia mengatakan, bahwa pengakuan
hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949.
Pada 13 Agustus 2005, harian Belanda de Telegraaf menulis, Menlu RI
Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan
permintaan maaf dari Belanda, dan setelah pernyataan Ben Bot pada 16
Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, bahwa
Indonesia tidak menuntut kompensasi dari Belanda. Memang sebagai
Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda berbicara atas nama bangsa
Indonesia, namun benarkah pernyataannya, bahwa seluruh rakyat
Indonesia tidak menuntut kompensasi atas kerugian dan penderitaan
rakyat selama masa agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1949.
Belum lagi menuntut pengembalian warisan budaya dan pengurasan
kekayaan Nusantara yang telah diboyong ke Belanda selama ratusan
tahun sejak tahun 1602-1942?
Ben Bot menyatakan, bahwa selama puluhan tahun belakangan, Belanda
telah banyak “membantu” (maksudnya adalah pinjaman dalam bentuk
utang yang harus dibayar kembali berikut bunganya - penulis)
Indonesia di bidang pembangunan.
Tahukah seluruh rakyat Indonesia bahwa sebagai hasil keputusan
Konferensi meja Bundar tahun 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS)
–yang dipandang sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda
(Nederlands Indies)- diharuskan membayar utang Pemerintah India
Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden, dan oleh Pemerintah RIS, kemudian
setelah RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dilanjutkan oleh
Pemerintah RI telah dibayar sebesar 4 milyar Gulden, sebelum
dihentikan pembayarannya tahun 1956 oleh Pemerintah RI?
Tahun 1995 diterbitkan buku dengan judul De Excessennota sebagai
hasil penyelidikan yang dilakukan berdasarkan keputusan Parlemen
Belanda atas berbagai penyimpangan dan kejahatan yang dilakukan oleh
tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Buku itu
memuat cukup rinci mengenai puluhan kasus pelanggaran yang dilakukan
oleh tentara Belanda. Beberapa kalangan di Belanda sendiri
menyatakan, bahwa yang disebut secara lunak sebaga “Excess”, tidak
lain adalah “war crimes” atau kejahatan perang. Namun sangat
disayangkan, bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak merespons
temuan ini hingga sekarang, dan bahkan Menlu Hassan Wirajuda
menyatakan, bahwa Indonesia tidak memerlukan permintaan maaf dan
kompensasi dari Belanda.
Di bawah ini saya sampaikan tulisan mengenai pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Letnan (waktu itu)
R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 –
Februari 1947.
Selain pembantaian massal yang menelan korban jiwa ribuan rakyat
tidak berdosa di Sulawesi Selatan, pembantaian besar kedua terjadi
di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana sekitar 500 penduduk
desa tewas dibantai oleh tentara Belanda, yang mencari Lukas
Kustario, seorang pejuang Republik Indonesia, sebagaimana juga
diberitakan media Belanda RTL 5, yang dikirim oleh Jeffry Pondaag
dari Belanda:
Citaat uit RTL 5 documentaire Rawagede.
“De Excessen van Rawagede 1947-1950”
Tijdens de Indonesische onafhankelijkheid strijd werden in het dorp
Rawagede West-Java honderden burgers, onder verantwoordelijkheid van
het Nederlandse Militaire gezag doelbewust vermoord. De Nederlandse
Militaire Autoriteiten wilden inlichtingen verkrijgen over de
Indonesische vrijheidstrijder Lukas Kustario die regelmatig in
Rawagede verblijft. Bij de zoektocht naar Kustario werd het
overgrote deel de mannelijke bevolking geëxecuteerd. De eerste
militaire actie in Rawagedéh waarbij in totaal 431 dodelijke
slachtoffers vielen. Werd in januari 1948 onderzocht door een
speciale commissie van de VN.
De VN Commissie, bekritiseerde de handelwijze van het Nederlandse
militaire gezag. Ondanks deze conclusie is de voor de excessen
verantwoordelijke Nederlandse Officier niet vervolgd. Na overleg
tussen de Nederlandse militaire en Justitie Autoriteiten werd de
zaak Rawagede Geseponeerd.
Een Produktie van Willy Lindwer.
AVA Productions 1995.
Apabila seluruh rakyat Indonesia mengetahui dengan jelas mengenai
hal-hal tersebut di atas dan lebih meneliti lagi berbagai
pelanggaran HAM berat dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh
tentara Belanda setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya
pada 17.8.1945, sangat diragukan, bahwa seluruh rakyat Indonesia
benar sependapat dengan pernyataan Menlu Hassan Wirajuda.
Perlu kiranya ditanyakan kepada korban penyiksaan dan perempuan
korban perkosaan tentara Belanda, keluarga dan anak-cucu korban
pembantaian tentara Belanda, apakah mereka mendukung pernyataan
Menlu Hassan Wirajuda, bahwa mereka benar tidak memerlukan
permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda? Ataukah hanya karena
mereka tidak mendapat informasi, bahwa mereka masih dapat menuntut
hak mereka di pengadilan internasional? (Apabila para pemimpin
negara dan wakil-wakil rakyat di Indonesia tidak mau memperjuangkan
hak dan nasib mereka!).
Batara R. Hutagalung
Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan
ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan
Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini
terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer
Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Latar belakang
Sementara Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di
daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, tetap terjadi perlawanan
sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak pemimpin mereka
ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi
Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan
dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para
pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang
sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup
mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka
menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa
apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat
diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya,
Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan
pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di
Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan
Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta
mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia.
Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan
mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang
terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju
Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar.
Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang
telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas
intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta
para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946,
memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya
di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter
Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan
tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de
Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan
bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana
telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan
terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku pedoman resmi untuk
Counter Insurgency.
Operasi militer
Tahap pertama
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal
11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta
beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri
yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang
dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan
pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff
beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama
Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan,
satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring
dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah
penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9
orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah
berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat
dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak
diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa
jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan
dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok,
penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini
dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia
memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh
Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya
mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang
dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal
dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat.
Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum
adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa
depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang
harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan
perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing.
Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah
mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah "sweeping a la Westerling". Dengan pola yang sama,
operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus.
Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada
malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati.
Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga
dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran
desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang
rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter
Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada
di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam
tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak
di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang
dieksekusi.
Tahap kedua
Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua
dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng
yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen
Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100
orang anggota laskar berenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST
menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri
XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu
pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan
desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola
yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling.
Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
Tahap ketiga
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap
Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29
Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama
antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di
kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Pemberlakuaan keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari
1947 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat)
untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola
seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus
dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi,
melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris,
perampok atau pembunuh.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan
dilanjutkan di Madello, Abokangeng, Padakalawa, satu desa tak
dikenal, Enrekang, Talanbangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi
sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di
pesisir Tanette, pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan
Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk
tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di desa
Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa
sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan
pembunuhan.
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris,
perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka
peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang
yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab,
dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian
dibunuh.
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata
pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15
penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri
menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya
diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang
mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang
rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh
seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.
Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947.
Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan
korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah
lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Yusuf Pabicara Baru (anggota
Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman
Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H.
Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain,
direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu,
barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang
yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.
Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain,
seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru
Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota
Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis
Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga
PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi
Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut
“Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan
orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi
Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua
Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro
RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala
Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan
Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah
Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa
PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab
Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan
disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan
nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
Pasca operasi militer
Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan
telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947
diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de
Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan
bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan
Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda
baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan
komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda
memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke
Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair
Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali."
Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di
Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli
1947.
Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena
dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar
dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST
dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2
perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara
KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5
Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST
(Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis.
Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat
dan pangkatnya menjadi Kapten.
Korban
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan
tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi
Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban
pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond
Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai
40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar
3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan
Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban
akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari
tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi
terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan
Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang
sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan
adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan
ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against
humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan
internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes
against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan,
peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court
(ICC) di Den Haag, Belanda.
Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
- http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Westerling

No comments: