January 5, 2008

Islam Meretas Kebangkitan

Islam Meretas Kebangkitan Deliar Noer berkata, “Nasionalisme
Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam”.
Katanya lagi, “Sesuatu gerakan yang penting di Indonesia
mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang bergerak
di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri
dari mereka yang telah meninggalkan tempat buaian mereka
semula, tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam
pergerakan.”
Oleh Agung Pribadi
Hal ini dapat kita buktikan. Beberapa tokoh pergerakan
nasional terkemuka dari berbagai aliran berasal dari gerakan
Islam. Untuk aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara
(Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam
(SI). Soekarno sendiri pernah menjadi guru Muhammadiyah dan
pernah nyantri di bawah bimbingan Tjokroaminoto. Bahkan
beberapa tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional berasal dan
terinspirasi oleh perjuangan SI. Tan Malaka sendiri, yang
menurut Kahin, adalah seorang Komunis Nasionalis dan pendiri
partai Murba, berasal dari SI Jakarta dan Semarang. Ia
dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam
Kaoem Moeda di Sumatera Barat (Poeze: 1988).
Umat Islam menduduki peran utama dalam gerakan politik dan
militer. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad,
perang suci. Sewaktu Pangeran Diponegoro–pemimpin Perang
Jawa–memanggil sukarelawan, maka kebanyakan mereka yang
tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa.
Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung
terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera
Islam. Tindakan ini menyebabkan ia lebih dicintai dan
dihormati rakyatnya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku
Umar, dan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien dari tahun 1873-1906
adalah jihad melawan kape-kape (Kafir-kafir) Belanda yang
menyengsarakan umat Islam dan rakyat Aceh.
Begitu juga dengan perang Padri. Bisa dilihat, nama perang
Padri menunjukkan perang ini adalah perang keagamaan. Kata
padri berasal dari kata ‘Padre’ (pendeta atau pastur). Nama
perang ini diberikan Belanda, meskipun Belanda memberi
penafsiran yang salah bahwa pejuang-pejuang itu adalah
‘pendeta-pendeta’. Perang tersebut berlangsung selama 16
tahun. Selama itu bentrokan terjadi di kalangan ulama
Indonesia: ‘kaum tua’ dengan ‘kaum muda’ dan golongan adat
dengan ‘kaum muda’.
Bentrokan ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba, namun
tidak berhasil. Akhirnya kedua kubu yang saling berselisih itu
bersatu dan bersama-sama melawan Belanda.
Para ulama juga memimpin pemberontakan terakhir yang terjadi
pada tahun 1927 di pantai barat Sumatera. Belanda, seperti
pemerintahan Orde Baru, mencap semua pemberontakan melawan
pemerintahan adalah komunis atau PKI. Sehingga hari ini kita
temui dalam buku sejarah bahwa pemberontakan tahun 1927 di
Sumbar itu adalah PKI. Padahal itu dilakukan oleh Sumatera
Thawalib. Memang ada sebagian anggota Sumatera Thawalib yang
kemudian menjadi anggota PKI tapi itu hanya sebagian kecil
saja (Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia).
Pada saat itu gerak maju perjuangan kemerdekaan Indonesia
pindah ke lingkungan politik dan sipil, namun tetap mempunyai
warna Islam yang kuat.
Pada 1912, pergerakan politik Indonesia yang pertama, yakni
Sarekat Islam (SI), didirikan. Dengan segera, SI menjadi
gerakan massa dengan anggotanya mencapai 2 juta orang pada
tahun 1919. Sebenarnya Sarekat Islam sudah berdiri sejak tahun
1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam.
H. Agus Salim, Tamar Djaja, Ridwan Saidi, Anwar Harjono, Ahmad
Mansyur Suryanegara, dan Adabi Darban pernah berkata bahwa
tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam ini lebih tepat
disebut sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, dan bukan tahun
1908 dengan patokan berdirinya Boedi Oetomo. Karena ruang
lingkup Boedi Oetomo hanyalah Pulau Jawa, bahkan hanya etnis
Jawa Priyayi pada tahun 1908 itu. Sedangkan Sarekat Dagang
Islam mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi
inilah yang layak disebut “Nasional”.
Tetapi golongan nasionalis sekuler, sejarawan-sejarawan yang
tidak nasionalis, sejarawan-sejarawan “netral” yang menulis
sejarah berdasarkan ‘pesanan’ mengaburkan hal ini. Golongan
nasionalis menyimpangkan karena takut. Asas SDI (Sarekat
Dagang Islam) adalah Islam, sedangkan golongan nasionalis
sekuler paling takut pada Islam sebagai suatu ‘gerakan’.
Mereka disebut Islamofobia, meski mereka mengaku beragama
Islam. Lalu mengapa Boedi Oetomo yang dijadikan patokan?
Karena Boedi Oetomo berdasarkan “Nasionalisme Sekuler” atau
lebih tepat lagi “Nasionalisme Jawa Sekuler”!
Seorang orientalis, G.H. Jansen, pernah menyebutkan beberapa
alasan yang menyebabkan kemunduran Sarekat Islam. “Programnya
merupakan kombinasi yang kurang serasi antara Islam yang agak
konservatif dengan anti-kolonialisme yang keras. Kombinasi ini
akhirnya menghancurkan kesatuan di dalam diri organisasi itu
sendiri dan popularitas organisasi” (G.H. Jansen, Islam
Militan).
Tapi sesungguhnya Jansen telah salah besar. Dikotomi yang ia
nyatakan, Islam dan antikolonialisme adalah keliru. Sebab
salah satu karakteristik Islam adalah antikolonialisme.
Apalagi dengan mengatakan Islam itu “agak konservatif”. Ini
salah sekali. Karena Islam itu progresif dan “up to date”,
selalu relevan sepanjang zaman.
Kesalahan lain Jansen karena ia mengatakan penyebab kehancuran
SI adalah kombinasi yang kurang serasi antara Islam dengan
antikolonialisme. Padahal penyebabnya (penyebab utama) adalah
infiltrasi dan penetrasi dari orang-orang komunis kepada
Sarekat Islam. Mereka mengira Islam dan komunis sama karena
sama-sama membela kaum tertindas (mustadh’afin).
Penyebab tertipunya orang-orang Islam anggota SI ini adalah
karena SI kurang memberikan porsi yang cukup untuk membahas
Islam secara ilmiah, pembahasan masalah sosial, dan kehidupan
sehari-hari secara ilmiah. Sedangkan orang-orang komunis
menyentuh bidang akal. Akhirnya hancurlah SI. Tadinya SI
adalah sebuah partai politik terbesar di Indonesia/Hindia
Belanda kemudian pecah menjadi dua. SI Putih tetap bergaris
dan berhaluan Islam, sedangkan SI Merah bergaris dan berhaluan
komunis yang nantinya berubah menjadi PKI.
Saingan SI yang berhasil adalah Muhammadiyah. Sebenarnya
kurang tepat juga bila disebut saingan karena kedua organisasi
ini ‘fastabiqul khairat’ (berlomba-lomba berbuat kebaikan),
apalagi mereka menghadapi musuh yang sama yaitu penjajah
Belanda. Tetapi penulis tetap memakai istilah ini karena
berdasarkan pada istilah yang dipakai para ahli sejarah
Indonesia, baik sejarawan Indonesia maupun sejarawan asing
(Indonesianis). Muhammadiyah didirikan di tahun yang sama,
1912. Muhammadiyah aktif khususnya dalam bidang pendidikan dan
sosial dakwah bilhal serta dakwah bil lisan.
Tahun 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB). Anggotanya
kebanyakan adalah golongan elit yang berpendidikan Barat yang
masih ingin memegang teguh keislaman. JIB di kemudian hari
banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin Indonesia Merdeka,
semisal M. Natsir, Moh. Roem, Yusuf Wibisono, Harsono
Tjokroaminoto, Sjamsuridjal, dan lain sebagainya. Dengan
demikian sampai tahun 1930 pergerakan nasional Indonesia
praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli)
aktivis-aktivis Islam. Perjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an
terdiri dari pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler
atau “kalangan kebangsaan yang netral agama”, istilahnya
Deliar Noer.
Orang-orang nasionalis berkata bahwa o-rang-orang nasrani pun
turut berjuang dalam usaha mengusir penjajah. Mereka mengambil
contoh Pattimura atau Thomas Mattulessy. Padahal tulisan
tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong dan isapan
jempol dari seorang yang bernama M. Sapija (Agung Pribadi,
Pattimura itu Muslim Taat, 2003 atau Drs. M. Nour Tawainella,
“Menjernihkan Sejarah Pahlawan Pattimura” dalam Panji
Masyarakat 11 Mei 1984). Tokoh Thomas Mattulessy tak pernah
ada. Yang ada adalah Kapiten Ahmad Lussy atau Mat-Lussy,
seorang Muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan
penjajah Belanda.
Menurut Fakta sejarah, bahkan Sisingamangaraja XII pun seorang
muslim. Tetapi Nugroho Notosusanto cs berkata bahwa
Sisingamangaraja XII adalah penganut agama Sinkretis antara
agama Kristen, Islam dan agama Batak.
Jendral Sudirman yang seorang guru Muhammadiyah pun adalah
seorang Islam yang taat. Sudirman berjuang mengusir Belanda
tidak atas dasar nasionalisme sekuler. Dia berjuang sebagai
seorang Muslim yang membela negaranya. Tulisan tentang beliau
kebanyakan ditulis oleh orang-orang nasionalis sekuler seperti
Nugroho Notosusanto yang kini terbukti telah memalsukan
Sejarah PKI. Ia juga kedapatan memalsukan sejarah Jong
Islamieten Bond pada buku Sejarah Nasional Indonesia jilid V
halaman 195-196.
R.A. Kartini pun bukanlah seorang yang memperjuangkan
emansipasi wanita an sich. Ia seorang pejuang Islam. R.A.
Kartini sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah,
ketika ia mencetuskan ide-idenya. R.A. Kartini sedang beralih
dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau
minazh zhulumati ilan nuur (Habis Gelap Terbitlah Terang),
tetapi ia wafat sebelum sempat membaca terjemahan al-Qur’an
selain juz 1 sampai juz 10. Akibatnya pengaruh teman-temannya
yang mayoritas Nasrani dan Feminis Liberal, bahkan ada yang
Yahudi, masih terlihat jelas.
Fakta Peranan Pemuda Islam
Ada fakta menarik yang dipublikasikan oleh Ahmad Mansyur
Suryanegara tentang peranan pemuda. Selama ini tokoh-tokoh
seperti Endang Saefuddin Anshari, Harry J Benda, John Igleson
Clifford Geertz, dalam karyanya menggolongkan tokoh agama yang
karena menyandang gelar “Haji” atau “Kiai” menyangka bahwa
mereka sudah tua. Padahal mereka adalah para pemuda. Misalnya
HOS Tjokroaminoto pada waktu ia memimpin SI usianya masih
muda. Pada tahun 1912 ia baru berusia 30 tahun. Melihat ke
masa sekarang pengertian pemuda berdasarkan keputusan Menteri
P dan K RI No. 0323/V/1978, pemuda adalah orang di luar
sekolah maupun perguruan tinggi dengan usia antara 15-30
tahun. Kiai Haji Mas Mansur yang pada usia 12 tahun sudah
menunaikan ibadah haji, sudah masuk gerakan mencintai tanah
air. Kemudian mendirikan Nahdhatul Wathan yang berarti
“Kebangkitan Negeri atau Negara” pada tahun 1916 saat usianya
baru 20 tahun. Ia lalu pindah ke Muhammadiyah dan aktif di
sana pada umur 26 tahun.
Demikian pula halnya dengan organisasi pemudi, rata-rata
anggota dan pemimpinnya di bawah 30 tahun. Tetapi selama ini
para ahli menggolongkannya sebagai gerakan wanita. Apalagi
dengan peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember, maka orang
mengira bahwa yang bergerak adalah ibu-ibu yang berusia cukup
tua.
Pemuda Islam Indonesia Zaman Jepang
Pada awal pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang nantinya menjadi
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi semi
militer dari Masyumi adalah Hizbullah dan Sabilillah yang juga
diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang pelatihan semi
militer dari pemuda-pemuda. Lambang organisasi militer PETA
adalah simbol Islam, yaitu bulan sabit. Yang menjadi
komandan-komandan PETA dipilih orang yang berpengaruh. Selain
guru sekolah, banyak sekali guru pesantren yang menjadi
komandan PETA dengan pangkat perwira menengah. Menurut seorang
ahli dari Belanda, BJ Boland, ini adalah salah satu hikmah
pendudukan Jepang bagi umat Islam Indonesia, yaitu islamisasi
di kalangan tentara Indonesia. Tetapi di akhir pendudukannya,
Jepang lebih mendekati golongan nasionalis sekuler melalui
Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa) dan gerakan 3A.
Pemuda Islam Pasca Proklamasi
Pada masa Revolusi mayoritas orang Islam berjuang dengan
takbir “Allahu Akbar”. HMI pun berdiri di tengah-tengah
revolusi tahun 1947. Pada Masa Demokrasi Liberal, Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP) menjadi organisasi Onderbouw atau
bawahan dari partai-partai yang ada. Dengan kata lain pemuda
terlibat dalam “Politik Aliran”. HMI walaupun independen dan
bukan merupakan Onderbouw Masyumi seperti yang dikira banyak
orang, akan tetapi tokoh-tokoh HMI sangat dekat dengan
tokoh-tokoh Masyumi karena adanya persamaan ideologi keagamaan
(modernisme Islam) dan kepentingan, yaitu anti PKI.
Pemuda dan Mahasiswa Islam 1965-1985
Pemuda Islam terutama PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) berperan sangat besar dalam Orde
Baru. Biasanya apabila ada suatu perubahan sosial baik yang
radikal (revolusi) atau evolusi, peran pemuda Islam terutama
mahasiswa Islam cukup menonjol. Misalnya dalam revolusi di
Iran dengan Bani Sadr, Khomeini, dan Ali Syariatinya, di
Afghanistan dengan Ghulam Muhammad Niyazi beserta
murid-muridnya para ketua aliansi tujuh partai terbesar di
Afghanistan semisal Gulbudin Hikmatyar, Abdur Rabir Rasul
Sayyaf, Burhanudin Rabbani, dan lain-lain. Juga revolusi di
Aljazair dengan Abbas Madani beserta FIS-nya. Evolusi di
Malaysia dengan Anwar Ibrahim yang dulunya merupakan aktivis
demonstrasi mengkritik pemerintah Malaysia (dia berasal dari
ABIM, Angkatan Belia Islam Malaysia), dan masih banyak
contoh-contoh lainnya.
Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol,
misalnya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional
yang mana cabang-cabangnya tersebar di seluruh Indonesia.
Pemuda Masyumi pada masa Demokrasi Liberal juga sangat
berperan. Untuk periode 1960-an sampai 1970-an yang menonjol
adalah PII, HMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia,
organisasi di bawah naungan NU). Akan tetapi dalam periode
1965-1985 peranan pemuda Islam agak tersamarkan karena semua
organisasi pemuda Islam, para anggotanya melepas “jaket” dan
melebur dalam organisasi yang bersifat nasionalis. PII masuk
dalam KAPPI. HMI dan PMII dalam KAMI dan banyak lagi.
Organisasi-organisasi seperti di atas terlibat dalam
bentrokan-bentrokan fisik di lapangan (di daerah) dan
mengalami benturan sangat keras. Benturan antara kubu “hijau”
dengan kubu “merah”. Dalam mengkritik Rezim Soekarno, PII dan
HMI sangatlah vokal dan ini menjadi ciri mereka yang utama.
Tetapi entah mengapa sejak HMI mengakui Pancasila sebagai
asasnya, ciri vokal itu hilang. Atau PII yang tetap vokal dan
tidak mengakui Asas Tunggal Pancasila menyebabkan organisasi
itu secara atas tanah dikatakan bubar tetapi di bawah tanah
PII itu tetap eksis, namun menjadi PII-Ilegal. Tahun 1973
pelajar-pelajar Islam yang tergabung dalam PII menguasai
gedung DPR-RI pada saat berlangsung sidang membahas RUU
Perkawinan.
Pada tanggal 20 Maret 1978 terjadi Demonstrasi menentang P4
dan aliran kepercayaan masuk GBHN oleh Gerakan Pemuda Islam
(GPI) yang dimotori Abdul Qadir Djailani. Demikian pula
delegasi PII, HMI, GP Anshor, IMM, IPNU, dan PMII intensif
berdialog di gedung MPR-RI dengan para anggota MPR sejak tahun
1977 sampai tahun 1978 menentang masuknya aliran kepercayaan
dalm GBHN 1978. Last but not least, HMI, IMM, PMII, dan
pendatang baru KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia) sangatlah berperan dalam aksi-aksi reformasi
menumbangkan Soeharto. Ternyata dalam rentang waktu yang
panjang ini pemuda Islam sangat berperan dalam menentukan
jalannya negeri ini.
Lalu, apakah kita hanya akan merenungi kejayaan masa lampau
ataukah akan menentukan buat masa depan? Itu semua tergantung
kepada kita sendiri! Wallahu A’lam bish Shawab.

No comments: